Yesterday

Seumur hidup aku bermain. Mendengarkan orang lain. Kadang bicara, tapi aku lebih suka diam. Bukan karena aku benar-benar pendiam. Aku tak menyukai kata-kata itu. Rasanya, jika aku mulai banyak bicara, aku telah berubah menjadi bukan aku. 

Tak ada yang salah dari ibu dan ayahku. Mereka mengajari anaknya dengan sangat baik; membaca kesedihan mereka, mengusap airmata, menghitung peluang menjadi juara, menenangkan kekalahan mereka, mengajari menggambar dan melarang anaknya menjauhi api di belakang rumah. Mereka memberikan apa yang anaknya butuhkan. Dan kurasa, kelak, surga adalah tempat pantas untuk mereka. Aku tak tahu, apa mereka juga akan membentakku dari tempat jauh saat aku berada dan bermain api di neraka? 

Aku telah lama bermain. Apakah aku akan berpikir bahwa aku akan menghentikannya? Jangan bertanya padaku soal itu. Sebab aku hanya akan diam. Di luar kesadaranku, orang-orang juga bermain bersamaku. Aku katakan seperti itu, karena baru-baru ini aku menyadarinya. Ia menyukai permainan apa pun yang kumainkan dan sebaliknya. 

Kami melalui hari-hari yang lama, hari yang singkat bersama. Bercermin, apakah masing-masing memang pantas. Ia memang jenis manusia yang suka memantaskan diri. Aku tidak. Tapi percayalah, aku berusaha untuknya, karena kupikir aku adalah teman yang menyenangkan baginya. Jadi aku melakukan apa pun yang ia minta. Tapi ia bilang, "Aku tak menginginkan apa pun dari dirimu. Aku mencintaimu apa adanya. Kau temanku." Begitu tulus kata-katanya yang keluar. Harum, seperti tercium aroma napasmu yang baru saja selesai gosok gigi. Coba ingat-ingat kembali kapan terakhir kali kau gosok gigi, jika kau lupa. 

Kini, mudah ditebak. Usiaku 5 tahun. Aku selalu merasa begitu. Teman sepermainku itu telah berusia 23 tahun. Ia perempuan. Cantik. Memiliki kehidupan layak untuk dijalani dan percaya memandang bulan di langit lebih indah dan menajubkan jika berdua. Ia mengatakannya seperti itu. Dan untuk membuktikan hal itu benar, ia akan menikah. Ia terus mengatakannya seperti itu, sementara aku diam-diam diam saja. Kau tahu, aku hanya tak yakin jika aku benar-benar menjadi lelaki dewasa dan mengucapkan, "Selamat ya." 

Hari besar untuknya. Ia menikah dan memiliki teman sepermainan baru dan memiliki banyak anak dan mereka akan meriah bermain bersama anak-anak mereka, pikirku. Terus terang, itulah rencana dan cita-cita dalam pikirannya, bukan pikiranku sesungguhnya. Sementara itu aku merangkaki pikiranku sendiri. Ia pun menunjukan isyarat bahwa kami tak bisa lagi bermain bersama. 

"Sampai kapan?" Tanyaku seperti anak kecil. Aku menatap sumur hitam matanya yang kedalamannya tak terlihat. Apakah sekarang waktu yang tepat untuk terjun ke dalamnya? Aku menunggu aba-aba.

"Tidak. Kita tidak bisa lagi bermain bersama. Selamanya."

Suara perempuan itu megaung-gaung lirih dan lambat. Jenis suara yang dapat kau ingat ketika berteriak ke dasar sumur. Ia kembali dari dasar dan memantul-mantul ke permukaan telingamu yang bisa membuatmu pegang. 

Katakan sesuatu, katanya. Karena aku cuma diam saja. Aku berpikir agak lama ketika itu dan berpikir lagi, memang apa yang harus kukatakan? Aku tak mampu menjawab pertanyaanku sendiri. 

Kenapa diam? Katanya lagi. Ia mirip ibu, yang memaksa anaknya mengaku siapa yang telah mengganggunya dan membuatnya menangis, sepulang bermain. Dan seperti biasa, Ibu palingan akan menyuruhku pergi mandi. Ia memandikanku. 

Di kamar mandi, aku masih menangis. Ibu menguyur kepalaku; rambutku, alisku, telingaku, mataku dan air mataku, dan semuanya. Tubuhku basah kuyup. 

Setelah itu tak ada hal lain lagi yang perlu dikhawatirkan. Tangis telah usai. Dan aku akan kembali bermain. 

Mengingat hal ini, aku tak percaya, apakah Ayah dan Ibu akan membentakku jika aku terus bermain di luar kesadaranku dan pulang dalam keadaan menangis?

Aku akan terus bermain seperti hari kemarin. Mungkin di suatu tempat, seseorang yang sendiri dan tak memiliki teman dan juga usai menangis, telah menungguku di depan pintu rumahnya sambil mengelap ingus dengan punggung tangannya. Dan boleh jadi, kami bisa memainkan sesuatu bersama-sama. Menjadi teman selamanya. 

*) Terinspirasi dari lagu Yesterday - The Beatles.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suaramu

Jatuh Cinta

Pertanyaan-pertanyaan yang Tenggelam