Orang yang Terakhir Duduk dan Tersenyum [01]
1
Minggu pukul empat sore, di
belakang rumah yang memiliki sekotak kandang ayam di bagian pojoknya, angin
plin-plan berhembus kencang dari arah selatan, timur, utara, lalu tidak jelas
berputar-putar di belakang rumah itu. Sebenarnya tidak terlalu kencang sih.
Kecepatannya rata-rata saja dan cuma mampu menumbangkan jemuran-jemuran yang
tergantung di tali yang ujungnya diikat di dahan pohon mangga, dan berakhir di
cagak antena, yang kini sudah tidak gunakan.
Persis di sampingnnya ada
sebatang pohon kapas yang sudah tua, daun-daunya bergemerisik seolah sedang
bergosip dengan daun telingan angin yang baru saja tiba dan membawa kabar yang
mudah dilupakan atau tidak mudah dilupakan tapi bisa menjadi bulan-bulanan,
oleh daun-daun warga sekitar. Seekor capung berwarna merah mangkak nampak
terbang lincah kesana-kemari di antara tali jemuran, sangat asik dan seolah
tidak peduli melakukan manuver-manuner yang berbahaya, seakan-akan ia memiliki
lintasan sendiri di udara.
Sementara seorang lelaki
berkaos abu-abu, dengan celana pendek mendongakkan kepalanya ke langit. Lalu
berdoa, semoga sore ini tidak turun hujan. Namun sedetik kemudian, ia merasa
bahwa kalau sore ini hujan turun, juga bukan urusannya. Enggak apa-apa. Terserah
sajalah. Lantas ia kembali lagi membungkuk dan memunguti jemuran-jemuran yang
jatuh di sekitar kakinya. Memasukannya ke dalam bak besar, sambil terus mengisi
pikirannya dengan pertanyaan-pertanyaan yang sebetulnya tidak perlu dipikirkan.
Apakah Dewa-dewa langit mengenakan pakaian seperti manusia? Kalo iya, itu
berarti, mereka harus mencuci pakainan mereka, dan menjemurnya dan
mengangkatnya menjelang sore hari. Dan apakah mereka sudah melakukan tugasnya
dengan benar?
Belum mampu lelaki itu menjawab pertanyaan pikirannya sendiri,
Ibunya berteriak, mengingatkan supya anak lelaki itu segera menyelesaikan
tugasnya. Karena ada tugas lain yang sudah menanti untuk lekas dikerjakan.
Lelaki itu cepat-cepat
membereskan jemurannya, dan membawa bak besar ke ruang tengah sambil berlari
terbirit-birit macam anak tikus.
Maaf, ia bukan anak tikus!
Lelaki itu adalah anak Ibunya. Dan anak lelaki itu adalah aku.
Namaku Atlas. Orang-orang memanggilku: Tas. Usiaku 22 tahun.
Baru lulus kuliah, satu bulan lalu, masih bau kencur, bau ketek Ibu, dan belum
lurus-lurus amat menyemprotkan air kencingnya ke lubang toliet. Dan kenyataan
lainnya, aku masih menganggur.
Tapi bukan berarti aku ini benar-benar menganggur ya, seperti
nasib kucing. Aku juga lumayan sibuk. Sore ini saja, pekerjaanku banyak.
Menyiram tanaman Ibu, mengangkat jemuran, mengantarkan laundry-an pelanggan, dan sebagainya. Pokoknya sibuk dan sebagainya.
Hehe.
Oh ya. Ibu punya usaha kecil di rumah kami. Ibu membuka usaha loundry di ruang tengah keluarga kami.
Usaha ini sudah Ibu jalankan semejak aku masih berusia anak SD. Kalau tidak
salah saat aku kelas 6, tiga tahun setelah ayahku meninggal, tiga tahun sebelum
kami memutuskan memulai kehidupan dari awal. Dari awal, kau tahu. Betul-betul
dari awal.
Ibuku hanya guru yang mengajar di taman kanak-kanak, dan
berpikir memenuhi kebutuhan ketiga anaknya bukanlah perkara yang enteng—setelah
kepergian ayah tentu saja. Tahun pertama kepergian ayah, harta benda kami habis
dan tinggal setengah. Tahun kedua, Ibu mulai mengirit, tapi hal itu tak mungkin
bisa ia lakukan di tahun-tahun panjang, sementara ketiga anak-anaknya tumbuh
semakin besar dengan biaya dan perut yang juga besar. Maka dari itu, Ibu
memutar otak, dan berhasil. Ia menyulap ruang tengah keluarga kami dan
menjadikannya sebagai ruang kerja Ibu.
Ibu mengajar taman kanak-kanak dari pukul 8 pagi sampai pukul 10
siang. Itu artinya waktu menguntung untuk Ibu, karena dengan begitu Ibu memiliki
waktu berlimpah di rumah dan bergumul dengan pakainan kotor.
Ibu senantiasa sibuk di rumah. Tapi anak-anaknya tak akan
membiarkan beliau sibuk sendirian. Kami tiga bersaudara. Dua perempuan, dan
satu laki-laki. Aku anak tengah. Kakakku yang pertama, bernama Kayas Lembayung,
menikah dengan peternak lele dan memiliki seorang anak yang sudah berusia dua
tahun.
Meskipun
perempuan, Kayas, sebagai anak bungsu selalu memiliki keinginan kuat melindungi
adik-adiknya, yakni aku dan Bungi—si Bungsu. Kayas belajar beladiri, untuk
melindungi kami dengan ilmu kedisplinan sabuk hitamnnya. Ia perempuan yang
memiliki tanggung jawab besar tehadap adik-adiknya. Ia pernah mematahkan leher,
teman SMA-ku yang suka memalak anak lemah dengan satu krek yang mengejutkan. Ibu pernah marah terhadap tindakannya
itu, karena sejam kemudian orang yang di krek itu
datang ke rumah kami dan minta uang ganti rugi.
Ibu tak suka kerugian, Ibu bahkan menyimpan uang koin kembalian
dari toko dan hari itu ia mesti merelakan uang tabungannya untuk membayar aksi
anak perempuannya itu dengan perasaan sangat menyesal. Tapi setelah hari itu,
tak ada orang yang berani lagi menggangu keluarga kami. Kayas, kakakku, juga hebat dalam memainkan pisau untuk
memasak, selain ia juga terlalu jago menyobek urat lehermu kalau kau berani
macam-macam dengan keluarga kami. Coba saja kalau kau tidak percaya.
Bungi. Adiku. Ia perempuan bertubuh kecil namun cerewetnya ya
ampun. Ia terlalu gemar mengomentari segala hal yang kulakukan tanpa jeda.
Bungi masih kelas dua SMP. Keahliannya, sejak SD ia sudah pandai melukis. Ibu memasukannya
mata jam tambahan ketika ia selesai sekolah sore hari, Bungi mendalami
ketrampilannya itu. Selain pandai melukis, teman lelaki Bungi juga banyak.
Teman yang ingin jadi pacar.
Sudah tak terhitung anak lelaki
yang berkunjung ke rumah kami, dari yang membawa bunga sampai martabak coklat
yang enak. Ada semua. Tapi sayang semua anak lelaki itu ia tolak. Padahal
martabaknya enak. Bungi memang payah soal selera.
“Tapi ini sama sekali enggak ada hubungannya dengan selera!”
katanya memprotes kepadaku..
“Ya, paling enggak kan kau bisa ambil aja martabak itu, lumayan,
lalu menyuruh calon pacarmu pergi. Dan kembali lagi besok!” Kataku. “Dan jangan
lupa bawa martabak telor. Bosen martabak manis mulu!”
“Mana bisa begitu, Tas!” Bungi kesal. Nada bicaranya kesal.
“Memangnya kenapa enggak bisa?” tanyaku.
“Pokoknya enggak bisa. Seleraku enggak sepertimu. Titik.” Bungi
melemparkan batang kuas lukis ke arahku.
Aku
menghindari serangannya dengan buku yang sedang kubaca. Cing! (Terdengar dua benda tajam saling
bertumbukan) Macam drama saja.
“Sudah. Sudah. Jangan ribut melulu,” Ibu mentengahi kami.
Di rumah hanya ada aku, Bungi dan Ibu. Kayas sudah tinggal
bersama suaminya, satu kilometer dari rumah kami. Setelah pernikahan Kayas
dengan juragan lele itu, dan aku lulus kuliah, beban keluarga menjadi lebih
sedikit ringan. Jadi Ibu sudah mulai mengurangi kerja kerasnya selama ini. Lagi
pula Ibu sudah tua. Dan aromanya juga tak jauh-jauh dari minyak kayu putih.
Hanya tinggal Bungi sebagai tanggungan keluarga. Tapi
kadang-kadang, Bungi meskipun masih ingusan, juga sudah bisa menghasilkan uang
sendiri—lewat ketrampilannya melukis. Ia melukis dan menjual lukisannya itu di internet.
On line. Dan sejak ia meniti karir
itu (ceileh meniti karir?) di bidang yang digelutinya sejak SMP, Anak SMP itu
jadi sudah jarang-jarang minta uang jajan pada Ibu.
Setiap pukul tiga hingga lima
sore, saat Bungi les melukis, maka aku sebagai satu-satunya anaknya yang
tersedia di rumah adalah tugasku membantu Ibu, mengantarkan dan menjemput loundry-an ke pelanggan-pelanggan
kami. Aku berangkat dengan sepeda motor bututku, peninggalan Ayah, yang
sudah kumodifikasi.
Sepeda motorku beroda tiga
bercat kuning, dengan bagasi super besar, yang bisa memuat tiga ekor anak
kambing sekaligus. Tapi kata Bungi, sepeda motorku justru lebih kendaraan
pengangkut sampah. Sialan memang anak itu.
Tapi kalau kupikir-pikir pendapatnya benar juga. Kenapa aku enggak kepikiran sampai situ. Aku menonyor kepalaku
sendiri. Dan dua hari lalu dengan uang modal dari Bungi, aku membeli cat
semprot dan mengganti warna sepeda motorku dengan warna biru langit.
“Jangan mengecewakan uang hasil kerja kerasku,” ujar Bungi
sambil memasukan beberapa lembar uang ke dalam saku kemejaku.
Lantas Bungi menarik sepeda keranjagnnya, berangkat ke sekolah
pagi itu.
Sebelum Bungi memiliki sepeda sendiri, Anak SMP itu berangkat
sekolah dengan jalan kaki. Aku pernah mengajukan bantuan untuknya, mengantarnya
ke sekolah, tapi ia menolak. “Enggak, Tas! Lebih baik aku mengililingi separuh
Bumi, jalan kaki, ketimbang duduk di belakang bak motormu! Aku bahkan enggak
bisa membayangkan ekspresi wajah seluruh temanku-temanku di kelas, jika mereka
tahu, aku punya Kakak yang mengendari sepeda motor yang mirip pengangkut sampah!”
ujarnya.
Seharian aku sibuk mengecat
sepeda motorku itu, mengamplasnya dengan detail dan menyemprotkan warna biru
langit ke setiap bagian yang bisa kujangkau.
Pukul satu siang, Bungi pulang
dengan sepedanya dan ia tersenyum padaku sambil menepuk-nepuk pundak belakang,
seolah mengatakan, “Kerja bagus, Dude!”
Namun keesokan harinya lagi,
saat aku membuka pintu bagasi samping rumah, ingin memanaskan sepeda motorku
itu, aku merasa ada yang hilang. Sepeda motorku seperti hilang, meski ia ada di
sana. Sepeda motorku seperti bukan sepeda motorku, jika ia tidak berwarna
kuning. Ada perasaan aneh dalam diriku yang tidak dapat dijelaskan.
Perasaan seperti saat kau sedang terserang perasaan cinta. Saat
pasanganmu yang selama ini kau kenal sepanjang hidupmu, berubah. Ia mendadak
berubah dalam semalaman saja. Seperti tidak seperti kemarin. Seperti tidak
seperti dulu lagi. Seperti bukan milikmu lagi. Semacam itulah kalau boleh
digambarkan dengan kata-kata.
Aku sudah bersama, Wibi—nama sepeda motorku—selama kurang lebih
6 tahun. Namun tiba-tiba ia berubah, menjadi sesosok yang tak kukenal. Aku
betul-betul merasa nelangsa dan kehilangan.
Maka dengan modal sisa uang yang diberikan oleh Bungi tempo
hari, dan sedikit melubangi celengan babiku, aku mengecat Wibi lagi.
Mengembalikan warnanya seperti semula.
Setelah selesai, Ibu berkomentar, “Kau sepertinya senang dengan
warna kuning ya?”
Dan
disusul dengan pertanyaan berikutnya dengan bunyi kring-kring dari sepeda Bungi, sepuluh menit
kemudian saat ia pulang sekolah. “Astaga. Tas… Apa yang sedang kau lakukan?”
“Aku hanya sedang mengembalikan citra sepeda motorku kembali!
Aku merasa dia pasti menderita telah menjadi benda lain!”
“Jangan
sekarang, Tas. Jangan gunakan perasaan itu lagi!” katanya. “Kamu ini baperan ih!”
“Biarin!” Kataku.
“Kalo begitu kembalikan uangku!” Bungi memukul lenganku. “Sini!”
Mendengar keributan di luar rumah, Ibu datang, seperti biasa
mempetengahkan kami. “Sudah. Sudah. Kalian ini berantem teruuus!”
“Atlas nih, Bu,” Bungi melotot ke arahku sambil menggelembungkan
pipinya. “Masa cuma warna motor aja ampe kepikiran mantan!”
Aku diam saja.
“Sudah, Bungi! Cepat masuk. Ganti baju dan makan siang!”
Bungis lewat di depanku, sambil melotot, memukul lengaku sekali
lagi sebelum masuk ke dalam rumah...
bersambung...
Komentar
Posting Komentar