Jatuh Cinta


Kau sedang jatuh cinta. Kau tersenyum setiap waktu. Kau bahkan tersenyum setiap itu bukan moment lucu. Ibumu, yang sedang mengupas kulit kentang di dapur curiga anaknya mulai sinting, bertanya, “Ada apa?”

Tidak ada apa-apa batinmu. Lalu kau kembali tersenyum. 

Sebenarnya ibumu tahu. Karena toh, beliau pernah muda sebelum beliau tak  punya kesempatan menolak tua.

Di dadamu sedang ada banyak kupu-kupu warna-warni. Yang berterbangan mengitar-ngitar di sana indah sekali. Binatang bersayap pelangi yang merentang ringan di sela-sela udara paru-paru itu. Binatang kecil yang sudah lama sekali ingin kau temui di alam mimpimu yang kabur dan suram. “Setelah hari-hari buruk, mimpi-mimpi buruk, dikejar-kejar anak biawak, keponakan biawak dan paman biawak,” batinmu lagi. “Akhirnya....” Kau kembali tersenyum lega sambil menatap udara kosong di hadapanmu.

Ibumu, yang sedang memasak di dapur, dengan ekor matanya menoleh. Ke arahmu. Kau tahu itu. Tapi kau memilih tidak peduli. Maka Ibumu dengan posisi pisau di tangan kanannya segera berteriak, meminta laporan, “Siapa namanya?”

Kau ini anak baik. Dan manis. Lagi pula Ibumu memegang pisau runcing di tangannya, itu artinya kau harus mengatakan sesuatu sebelum ibumu melakukan sesuatu. Setidaknya kau harus menoleh ke arahnya. Memutar lehermu persis seperti burung hantu. Seolah tatapan itu bisa menjelaskan dengan baik, sanggup mengatakan yang seperti pokoknya dia baik dan cantik, Bu. Jangan khawatir.

Ibumu tidak khawatir. Ibumu telah berhenti khawatir. Beliau pernah berpesan padamu, mewanti-wanti anaknya supaya jangan mudah menaruh harapan pada orang lain. Terlalu besar. Tidak baik, terlalu besar resikonya, lanjut beliau kala itu.

Tapi ibumu yakin kau bukan anak sembarang. Meski kau patut dicurigai, ibumu selalu punya alasan layak untuk mempercayimu.

Ini adalah hari yang indah. Ini adalah hari ketika kau jatuh cinta setelah tahun-tahun kau berpikir bahwa orang-orang yang bekerja sebagai motivator cinta, yang gemar mengisi telinga orang lain dengan kata-kata cinta itu tak harus memiliki adalah pernyataan konyol, pikirmu. Kecuali Si Motivator mau bertanggung jawab akan banyaknya kasus bunuh diri atas nama cinta yang tak berbalas.  

Kau sendiri selalu ingin berpikir, ya cinta, ya memiliki mereka harus saling berdekatan. Karena asumsimu, dua kata itu adalah saudara kandung yang tak boleh berpisah jalan. Apa gunanya kau cinta tapi tidak memiliki? Apa jadinya jika memiliki, tapi kau sama sekali tidak dicintai! Rasa-rasanya jika dua kata itu berpisah, yang satu ke utara, sementara yang lainnya ke selatan, bisa dianggap sebagai tanda-tanda akhir zaman. 

Kau sendiri sebelum hari ini, hari ketika kau jatuh cinta, biasa melalui detik demi detik dengan mengapitkan bibirmu rapat-rapat. Menyipitkan matamu seperti belahan resleting tertutup, yang tak pernah sanggup menyembunyikan kesepianmu di dalamnya. Atau ya sesekali kau cuma bisa mendengus dengan poster-poster kutungggu jandamu atau istilah bodoh lainnya yang sering kaulihat di belakang truck, saat kau sedang mengendarai sepeda motor. Kau sudah tidak memiliki selera humor.

Tapi memangnya sejak kapan kau punya selera humor? Kau tak ingat.

Tapi hari ini kau ingat sekali, bahwa kau merasa memiliki selera humor yang cukup baik. Semut-semut itu. Mereka memberikan jejak jalan berupa feronom yang bisa mengundang teman-temannya. Betapa lucunya mereka. Ibumu yang memakai daster bermotif rumah kura-kura, sebutir kentang kuning langsat, bayang-bayang wajahmu yang memantul di ubin? Apalagi?  Oh, jam dinding yang selalu kau curigai sebagai mata-mata yang dikirm Tuhan untuk mematai-matai waktumu, lucu juga. Ada lagi? Banyak. Karena semuanya lucu dan membuatmu tersenyum. 

Di sela-sela lamunanmu, yang kau sedang duduk memandang udara, tiba-tiba kau teringat sebuah buku yang pernah kau baca tapi kau lupa nama judul dan pengarangnya. Tapi cerita itu begitu membekas di kepalamu. Suatu kali Si Bos Besar menyuruh anak buahnya yang juga besar, untuk menculik Albert Einstein untuk keperluan Si Bos yang amat penting. “Pergi dan bawa Si Tua Einstein di hadapanku,” kata Si Bos Besar.

Anak buahnya menjawab, “Tapi, Enstein, kan... Kenapa harus Enstein?”

“Atau kau mau mati?” Si Bos Besar menggeretakkan giginya.

Si Anak Buah tak bisa menolak permintaan Si Bos itu.  Lagi pula dia sedang jatuh cinta, dan jelas-jelas dia tidak ingin mati. Maka dia menurut. 

Itulah yang kau dapatkan dari cerita itu. Kau berpikir, sikap Si Anak buah betul-betul dapat diterima olehmu. Dia sedang jatuh cinta. Kau bahkan berpikir ingin membantunya dengan senang hati jika kau diberi kesempatan melakukannya. Tapi, kau harus berpikir baik-baik, karena pertama-tama yang kau lakukan adalah  membuktikan lebih dulu pada ibumu bahwa kau tidak sinting.

[AW] Ilustrasi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Suaramu

Pertanyaan-pertanyaan yang Tenggelam